Friday, November 1, 2019


KENALI EMOSIMU...


Bagi kita orang Indonesia, istilah 'emosi' sering dikonotasikan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan atau destruktif. 'Tahan emosi mu!', 'dia orang yang emosional', 'kamu cepat emosi sih', dan seterusnya. Bahwa emosi adalah gambaran kemarahan, kebencian, bahkan kekejaman. Pandangan yang berkembang tersebut tidak sepenuhnya keliru karena 'marah' dan 'benci' adalah benar merupakan bentuk bentuk emosi. Namun, sayangnya di sini emosi hanya dilihat dari sisi yang sempit. Padahal, sebagai sebuah bentuk ekspresi dari proses mental yang sedang terjadi pada diri seseorang (emosi disebut juga 'afek' dalam psikologi), maka spektrum emosi sesungguhnya sangat luas dan dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu positif dan negatif. 

So, let's get familiar with these two. 

Pertama, seimbangkan referensi kamu tentang bentuk bentuk emosi ini yang pada umumnya muncul tanpa disadari. Contoh emosi positif: bahagia, optimis, termotivasi, kagum, bangga, riang, lucu dan seterusnya. Bahasa Inggris bahkan memiliki lebih banyak lagi ekspresi emosi positif yang sudah sering kita dengar dan gunakan di keseharian seperti 'enjoy', 'driven' dan 'friendly'. Sementara emosi negatif (sepertinya cenderung lebih banyak kita ketahui ya ) yaitu sedih, marah, benci, kesal, cemas, takut, cemburu, atau yang sedang trending seperti 'mager' dan 'baper'. Cara gampang membedakannya, emosi positif memberikan rentetan dampak yang positif ke diri kita, dan tentu saja sebaliknya. Social Media sangat advance lho dalam mengidentifikasi bentuk bentuk emosi melalui ikon ikon Emoticon nya.

Kedua, selain mengenal tipe emosi, kita  juga perlu belajar gimana mengekspresikannya dalam konteks yang tepat. Selain bahwa kemampuan mengekspresikan emosi dengan sehat dan adekuat (tepat dan sesuai konteks) merupakan salah satu bentuk Kecerdasan Emosi, para ahli kesehatan mental pun menggunakan ketidakadekuatan dalam mengekspresikan emosi ini untuk mendeteksi adanya gangguan mental. Istilah 'afek tumpul' (emosi datar), 'moody', emosi berlebihan (sangat sedih atau sangat bahagia hingga berhari-hari) atau respon emosi yang tidak sesuai konteks (tertawa tak terkendali pada situasi dimana ia harus sedih atau malah sebaliknya menangis berlebihan pada situasi yang menggembirakan) adalah beberapa contoh simtom ketidakadekuatan emosi yang menjadi tanda-tanda adanya gangguan mental pada seseorang. 

Baru baru ini (Oktober 2019) Hollywood merilis film thriller psikologis berjudul 'JOKER'. 
JOKER yang tampaknya mengalami gangguan jiwa yang cukup kompleks, menampilkan salah satu bentuk simtom ketidakakuatan emosi yang disebut 'Pseudobulbar Affect' (PBA). PBA ditandai dengan ketidakmampuan penderita untuk menunjukkan emosi yang sinkron disesuaikan dengan tuntutan situasi dimana dalam kasus Joker ia bisa tertawa terbahak-bahak pada situasi yang justru menimbulkan frustrasi. Namun PBA bukanlah satu bentuk gangguan jiwa melainkan hanya sebuah simtom emosi yang ganjil dimana kemungkinan penderita yang didiagnosis dengan gangguan yang berbeda bisa sama sama memiliki simtom PBA. Di film itu diceritakan bagaimana ketidakseimbangan mental Arthur Fleck (nama asli Joker) berkembang selama bertahun-tahun karena berbagai stimulasi negatif seperti mengalami kekerasan fisik dan psikologis sejak kecil, ketiadaan support emosi ketika sedang merasa 'down', sehingga mempengaruhi kepribadinya dan ketidakmampuannya merespons penolakan atau situasi yang tidak menyenangkan. 


Psikoterapis ternama dari Belanda, Frederika Bannink menyebutkan ttentang rasio keseimbangan emosi yang sehat, yaitu 3 EMOSI POSITIF (+) dan 1 EMOSI NEGATIF (-). Di dalam salah satu bukunya, Frederika Bannink mengutip hasil penelitian yang menyebutkan bahwa mereka yang sukses dalam menjalani kehidupan rumah tangga, karier dan bisnis pada umumnya menampilkan rasio positivity sekitar 3 atau lebih dan sedikit sekali emosi negatif. Sebaliknya, rasio emosi negatif yang lebih banyak ditemui pada mereka yang sulit mengatasi depresi, punya masalah rumah tangga, atau berada dalam tim yang kurang produktif. Simpulannya, emosi negatif terkadang tidak bisa dihindari dan sangat manusiawi. Yahh masa kalau dikecewakan gak boleh marah atau nangis, ya kan? Tetapi, memonitor keseimbangan emosi mu sangat penting supaya tidak mendominasi keseharianmu yang akhirnya dapat berdampak pada kesehatan fisik dan jiwamu.

Repost: FB InnerqJambi

Friday, April 26, 2019

Book Review: Driver dan Passenger

Driver dan Passenger

Bagi anda penggemar tulisan Rhenald Kasali, tentu ingat salah satu buku beliau: SELF DRIVING: MENJADI DRIVER ATAU PASSENGER? Dari beberapa buku karya beliau yang saya koleksi, buku yang diterbitkan tahun 2014 ini adalah salah satu yang membuat saya enggan untuk meletakkannya hingga selesai. Berikut reviewnya.


Dalam buku yang bertema perubahan tersebut, pak Rhenald menjelaskan pentingnya untuk membangun karakter ‘Driver’ dalam diri individu terutama di negara kita yang masih sarat dihuni oleh mereka yang berkarakter ‘Passenger’. Layaknya Driver maka karakter ini erat dengan sifat ‘alert’ atau waspada, karena Driver harus selalu paham jalan yang hendak ditempuh, mengikuti terus menerus kondisi lalu lintas, memilih dan memutuskan jalur mana yang paling aman dan singkat jarak tempuhnya, menjaga kelaikan kendaraan sekaligus memastikan keamanan penumpang dan mobil yang ia kemudikan supaya semua selamat sampai tujuan. Berbeda dengan Passenger yang relatif tidak memiliki tanggung jawab apa-apa, selain duduk manis bahkan diijinkan untuk tidur sampai perjalanan berakhir.

Pak Rhenald mengingatkan bahwa meskipun sangat penting, posisi Driver adalah posisi yang tidak nyaman dan beresiko tinggi karena jika Driver lalai maka seisi mobil bisa terancam bahaya dan ia akan dituntut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Tetapi, jika tidak ada satu pun orang yang maju ke depan dan mengambil resiko ini maka ‘rombongan itu’ tidak akan pernah sampai ke mana-mana.   

Baru sebatas ini saja, rasanya wajar jika banyak yang menolak menjadi Driver – namun Pak Rhenald justru menyoroti rendahnya kemauan menjadi Driver ini yang membuat perubahan sering tidak terjadi, persoalan menggunung tanpa solusi bahkan sekedar upaya untuk dipecahkan pun tidak muncul karena pada umumnya orang enggan bertindak akibat takut gagal dan takut salah. Oleh karena itu, membangun karakter Driver harus dimulai sejak dini agar individu tumbuh secara bertahap menjadi Good Driver yang dapat diandalkan lingkungan di mana pun sang Driver berada. Membangun attitude ini sejak dini juga akan menghindari jebakan kenyamanan yang menggelayuti Pessanger.

Dalam bukunya, Pak Rhenald banyak sekali mencontohkan figur-figur terkenal bahkan orang biasa yang berhasil menjadi Driver untuk mengubah tidak saja dirinya sendiri namun juga lingkungannya. Konsep beliau memang lebih mudah dianalogikan di dalam perusahaan atau instansi dengan man power berjumlah besar karena biasanya semua karakter yang ia soroti (good driver, bad driver, good passenger, bad passenger) dapat ditemukan di sini. Idealnya semua orang mampu bertransformasi menjadi Good Driver.

Pada intinya, Good Driver bisa jadi adalah figur yang ‘kurang disukai’ di lingkungannya karena dinilai mengobrak-abrik pola dan aturan yang sudah berjalan yang disadari atau tidak hanya mampu mengakomodir dan menguntungkan sebagian (kecil) orang sehingga menjadi sumber masalah di sebuah organisasi. Resistensi dari mereka yang tidak ingin diubah dan membenci perubahan karena akan merugikan dirinya dalam hal ini menjadi target atau sasaran seorang Good Driver. Tidak sedikit pula, mereka yang posisinya sangat mungkin untuk menjadi Driver justru memutuskan untuk menjadi Passenger – sehingga kurang sensitif atau bahkan abai terhadap kebutuhan perubahan di sekelilingnya. Sementara itu, para ambivalent (bad driver dan good passenger) membuat situasi makin rumit. Bad Driver adalah mereka yang dinilai punya power untuk melakukan perubahan, namun memiliki gagasan yang destruktif untuk kepentingan organisasi dalam jangka panjang. Merekalah trouble maker yang mampu menggerakkan massa, kritis dan artikulatif tetapi kesulitan membaca arah kebijakan dan prioritas-prioritas manajemen. Good Passenger masih dapat dimaklumi keberadaannya karena dalam jangka pendek tidak akan menimbulkan kerusakan. Namun Good passenger pada akhirnya akan menjadi beban yang berat bagi organisasi karena stagnansi atau minimnya kemauan untuk membuat terobosan.

Lantas, apa yang harus diperbuat?
Kembali pada statement di atas, maka Pak Rhenald cenderung pada membangun karakter sejak dini, sehingga tanggung jawab untuk menciptakan Driver ada pada orang tua, pendidik dan para mentor yang ikut membantu pembentukan karakter seseorang. Orang tua di rumah harus berani untuk menciptakan tantangan dan ‘kesulitan’ bagi anak-anaknya dengan ‘menahan diri’ dalam memberikan kenyamanan maksimal agar anak lebih terpacu untuk memperjuangkan sendiri apa yang ia inginkan. Kecenderungan orang tua di Indonesia yang tidak ingin anaknya merasakan ‘penderitaan’ yang sama dengan mereka mendorong maraknya nepotisme alias anak-anak dibolehkan menggunakan privilege yang dimiliki orang tuanya untuk mendapatkan kemudahan. Padahal kemudahan adalah jebakan ‘Batman’ yang menghambat kemandirian seseorang. Di sekolah dan dunia pendidikan, para guru dan dosen harus mampu memperkenalkan dan menyisipkan nilai-nilai ‘risk taking’ dalam kuliah dan sistem belajar yang diberikan di kelas bersama siswa dan mahasiswanya. Misalnya dengan mendorong mereka untuk mengeksplore hal-hal yang cenderung dihindari atau dinilai tidak mungkin dicapai karena ketiadaan akses dan sumber daya. Pak Rhenald mencontohkan satu tantangan yang sudah ia terapkan pada mahasiswanya yaitu dengan mendorong mereka untuk membuat Passport walaupun belum mempunyai dana atau rencana hendak pergi ke luar negeri. Harapannya, Passport akan men-trigger keinginan menjelajah negara lain sekaligus kreatifitas mereka untuk mewujudkan keinginan itu, misalnya dengan mulai browsing negara-negara tujuan atau menabung sedikit demi sedikit. Tentu akan lebih mudah bagi sebagian siswa atau mahasiswa tersebut untuk meminta saja biaya perjalanan kepada orang tuanya yang mampu dan pada kenyataannya tidak sedikit pula orang tua yang lebih suka bila perjalanan tersebut dipercayakan pada agen perjalanan profesional. Tapi, bukan itu tujuan yang dimaksud di sini. Mentor untuk pembelajar dewasa juga sebaiknya mendorong individu agar belajar menikmati proses menuju cita-citanya alih-alih hanya merasa puas dan mendapatkan sesuatu setelah cita-cita tercapai. Tentu saja keberhasilan adalah sebuah reward puncak, namun jika kita bicara pembelajaran maka jatuh bangun dalam mengusahakan cita-cita dapat menumbuhkan empati, mengasah daya tahan dan sikap pantang menyerah yang sangat dibutuhkan dalam mengelola perubahan.

Bagi yang sudah terlanjur dewasa J, Pak Rhenald juga memberikan tips untuk ‘membentuk’ sendiri attitude yang mencirikan seorang Driver, sebagai berikut:
1)membangun disiplin diri, 2)berpikir dan berbicara simpel dalam kehidupan sehari-hari, 3)belajar lebih berani mengambil resiko, 4)melatih pola pikir kreatif dan pola pikir kritis, 5) mengubah karakter fixed mindset menjadi growth mindset 6)fokus pada kemenangan, namun dengan cara yang tetap win-win.



Sisi lain dari buku ini.
Membaca buku Rhenald Kasali adalah sebuah proses menjelajah rimba literatur yang luas karena beliau selalu mencantumkan referensi yang beragam tidak saja di bidang yang berkaitan dengan dunianya (ekonomi dan manajemen perubahan) namun juga di bidang lain. Satu hal ini saja sudah sangat menginsipirasi karena saya jadi terdorong untuk mencatat buku-buku yang menjadi rujukan beliau namun belum terpantau oleh radar saya. Hal lain yang menarik adalah cara bertutur beliau yang menggambarkan pribadi yang cerdas sekaligus humble. Ibarat padi yang bernas namun makin merunduk, seperti itulah gaya pak Rhenald bertutur. Memang terkadang beliau juga tidak lepas dari bias-bias pribadi, namun sebagai penulis bergenre non-fiksi, komitmen beliau untuk berbagi pengetahuan dan pemikiran dengan cara-cara  yang arif dan mudah dimengerti tertangkap jelas dari gaya bertutur dan pilihan kata yang digunakan. Selain pikirannya, bagaimana Rhenald Kasali dalam keseharian juga tercermin dalam tulisan-tulisannya sehingga walaupun tidak mengenal beliau secara personal saya menemukan kesan figur yang tidak saja cerdas, berpendidikan dan berwawasan, namun juga memiliki lingkup pergaulan yang luas serta sering dipercaya banyak pihak untuk menangani project atau kasus-kasus sulit. Bagaimana proses kreatif buku-buku itu diciptakan juga menjadi keseharian pak Rhenald yang menarik diikuti karena setiap penulis memiliki gaya dan pengalamannya sendiri dalam menghasilkan sebuah karya.


Oleh Desi Astanty - Psikolog
(Penulis adalah asesor dan konselor di Inner-Q Jambi)

Friday, September 21, 2018

Anda dan Kesehatan Mental Anda: Stigma Pelayanan Kesehatan Mental

STIGMA DI SEPUTAR PELAYANAN KESEHATAN MENTAL

(*stigma adalah pandangan keliru yang berkembang di masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran)

Belum banyak masyarakat kita yang menyadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan tubuh. Fakta bahwa perasaan tertekan karena berbagai sebab dapat menyebabkan seseorang kehilangan nafsu makan dan mengalami kesulitan tidur adalah sebagian kecil bukti bahwa kondisi mental sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi fisik. Ketidaktahuan ini menimbulkan berbagai stigma yang menghambat langkah masyarakat untuk mencari pelayanan yang tepat ketika mengalami ketidakseimbangan mental.


Sebelum menelusuri artikel ini lebih lanjut, tidak ada salahnya bagi anda untuk mengetahui lebih dulu profesi apa saja yang bergerak di bidang kesehatan mental. Setidaknya ada 3 profesi yang berkecimpung di bidang ini namun kurang dipahami dengan baik perbedaannya, yaitu Psikolog, Psikiater, dan Psikoterapis. Psikolog adalah lulusan sarjana psikologi dan pendidikan keprofesian psikolog. Sementara itu, Psikiater adalah seorang dokter (lulusan sarjana kedokteran) yang telah mengambil spesialis ahli jiwa (Sp.Aj). Psikoterapis adalah lulusan pendidikan bersertifikasi di area terapi psikologis tertentu misalnya Hipnoterapi atau Art Therapy dan mendapatkan lisensi untuk berpraktek setelah dinyatakan lulus oleh lembaga yang memberikan sertifikasi. Kode etik praktik psikologi di Indonesia sebetulnya tidak membolehkan mereka di luar profesi Psikiater dan Psikolog untuk menjalankan praktek psikoterapi. Namun karena lemahnya regulasi dan kontrol di area ini, maka sangat mungkin anda menemukan praktek-praktek psikoterapi di negara kita dengan lisensi dari berbagai negara atau lembaga tertentu.

Lalu, kapan anda memerlukan bantuan Psikolog, Psikiater dan Psikoterapis? Pertimbangkan untuk mengunjungi Psikolog lebih dulu jika anda membutuhkan bantuan psikologis. Psikolog akan memberikan tindakan emergency (atau P3K) yang diperlukan jika anda belum pernah mendiskusikan hal yang meresahkan jiwa anda kepada profesional mana pun. Setelah mendengar keluhan anda dan mendapatkan diagnosis bayangan (belum merupakan diagnosis final), Psikolog biasanya sudah dapat merekomendasikan action plan atau tindak lanjut, berupa apakah kasus anda harus dirujuk ke Psikiater/Psikoterapis atau mungkin dapat ditangani sendiri oleh Psikolog yang bersangkutan dengan beberapa sesi konseling. Konseling merupakan istilah lain untuk proses konsultasi dengan Psikolog/Psikiater yang juga disebut Konselor. Klien yang telah menunjukkan ‘hendaya’ berat atau kondisi dimana klien tidak mampu lagi menjalankan fungsi personal dasar seperti bersih diri, kendali diri dan pengambilan keputusan yang buruk, serta tidak bisa membedakan ilusi dengan realita, pada umumnya akan segera dirujuk ke Psikiater.

Dalam prakteknya, pelayanan kesehatan mental seperti konseling psikologi masih mendapatkan tantangan yang berat karena stigma yang berkembang di masyarakat serta ketidaktahuan masyarakat tentang metode dan ‘output’ yang diberikan oleh profesional di bidang kejiwaan ini. Berikut 6 stigma:

1.    Konseling psikologi adalah curhat berbayar
Salah satu stigma yang populer berkaitan dengan jasa konseling psikologi adalah dari manfaatnya yang dinilai sama saja dengan ‘mencurahkan hati’ alias cur-hat yang sering kita lakukan dengan sahabat atau orang yang kita percayai. Bahkan, selain harus menyampaikan permasalahan kepada orang asing (Konselor adalah orang yang tidak dikenal), klien juga harus mengeluarkan biaya atas jasa yang diberikan dalam setiap proses konseling. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika lebih banyak masyarakat yang paham bahwa konseling psikologi merupakan pendekatan masalah yang ber-metode. Berbeda dengan ‘cur-hat’ dimana relatif hanya dibutuhkan kesediaan mendengar dan sharing pengalaman pribadi, dalam konseling psikologi, Konselor justru tidak diperkenankan untuk membagi pengalaman personalnya karena ia harus memusatkan perhatian pada potensi-potensi yang dimiliki klien untuk bisa segera ‘keluar’ dari masalahnya. Tujuan utama dari proses konseling adalah untuk membantu klien mengenali faktor-faktor yang menghambatnya untuk sampai kepada pemecahan masalah, yang seringkali justru bermula dari diri sendiri. Misalnya seberapa besar minat untuk berubah, tipe kepribadiannya, pola pikir-kebiasaan-gaya hidupnya, dan mekanisme pertahanan atau coping technique yang dipilih untuk mengatasi masalahnya.

2) Datang ke ahli jiwa berarti anda ‘sakit jiwa’
Pandangan seperti ini tidak sepenuhnya keliru namun dalam perkembangannya sekarang lebih mengarah ke ‘par-no’ alias paranoid karena salah kaprah. Penyebabnya karena referensi masyarakat yang masih sangat terbatas tentang jenis-jenis gangguan jiwa, sehingga cenderung menyamaratakan problem kejiwaan ke dalam satu label yaitu ‘sakit jiwa’. Bayangan awam (yang berpendapat seperti ini) tentang mereka yang ‘sakit jiwa’ biasanya sangat ekstrim yaitu mereka yang terlihat tidak mampu lagi mengontrol perilakunya, tidak bisa merawat diri, dan bicara sembarangan. Padahal jika seseorang yang kita ketahui membutuhkan pertolongan kejiwaan dan ‘baru’ datang berobat setelah statusnya seperti ini maka akan sangat terlambat. Sasaran ahli jiwa terutama Psikolog adalah individu yang masih mampu menilai situasi untuk menyimpulkan bahwa dirinya mengalami ‘stres’, atau mengalami perubahan dalam mood dan minat sehingga merasa diri mereka tidak produktif atau tidak seperti diri mereka yang dulu dan ingin segera mencari jalan keluar dari masalahnya. Sedikit berbeda dengan Psikiater, dimana pelayanannya dimungkinkan untuk menangani individu yang telah kehilangan semua kemampuan judgement atau penilaian, sehingga tindakan terapi neurologis melalui medis/obat sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan klien.

3) Konselor adalah problem solver
Karena konseling biasanya dikenakan biaya tertentu, sangat wajar bila harapan atau tuntutan klien terhadap konselornya cukup tinggi. Tidak sedikit yang mengharapkan persoalannya selesai secara instan karena sudah ditangani oleh profesional. Anggapan ini tidak begitu tepat, karena sebetulnya kunci pengambil keputusan dalam setiap proses konseling atau terapi psikologi adalah klien sendiri. Konselor hanya bertindak sebagai fasilitator yang akan membantu klien melihat persoalan dari sudut pandang yang berbeda dengan mengenali pola pikir yang terdistorsi, memodifikasi kebiasaan yang tidak diinginkan, serta memperbaiki kepercayaan diri klien agar lebih berani menghadapi problem hidup dan lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah sendiri. Itulah sebabnya, proses konseling atau psikoterapi biasanya harus dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan sebelum nampak hasilnya. Karena itu pula, Konselor menyebut individu yang mereka tangani sebagai ‘klien’, bukan pasien, mengingat klien diharapkan proaktif dan perannya sangat menentukan keberhasilan proses konseling dan psikoterapi.

4) Konseling hanya untuk yang bermasalah saja.
Sangat jarang problem yang terjadi pada manusia sifatnya single-cause atau hanya disebabkan satu faktor saja. Penyebab persoalan manusia pada umumnya multi-faktor, terutama yang terjadi pada usia kanak-kanak dan remaja. Tentu saja faktor individu memainkan peran yang signifikan yang menyebabkan ia mengalami masalah. Namun, faktor yang sifatnya individual tersebut bisa jadi tidak akan ‘menganggu’ jika tidak terpicu oleh stimulasi lingkungan. Faktor eksternal yang menjadi pemicu timbulnya problem pada seseorang istilahnya adalah ‘trigger’. Dinamika ini menyebabkan kesembuhan individu klien lebih sulit dicapai jika tanpa dukungan dari orang-orang ‘penting’ (significan others) seperti orang tua, saudara kandung, pengasuh/care giver, guru, dan atasan jika yang bersangkutan sudah bekerja. Sehingga, jangan terkejut bila anda juga akan dilibatkan dalam proses konseling dan diminta untuk ikut pula melakukan perubahan layaknya seorang klien demi membantu percepatan kesembuhan atau memulihkan kesehatan mental orang terdekat anda. Ini juga mengingat manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dimana keputusan dan perilakunya seringkali merupakan respon dari stimulus yang diterimanya dari lingkungan.

5) Ketika Psikolog memandang mata anda, maka ia sedang ‘membaca’ kepribadian anda.
Ini juga pandangan keliru yang sayangnya masih banyak diyakini oleh sebagian masyarakat kita. Psikolog sebagaimana Dokter pada dasarnya adalah seorang ilmuwan. Sebagai seorang ilmuwan di bidang perilaku manusia, maka setiap pendekatan dan teknik intervensi yang digunakan di ruang prakteknya harus memiliki pijakan empiris berupa teori dan data. Sama dengan Dokter, Psikolog juga harus mendiagnosis sebelum melakukan intervensi atau treatment terhadap kliennya. Yang sangat mungkin terbaca oleh Psikolog ketika ‘menatap’ mata anda adalah hasil observasi mengenai bahasa tubuh dan emosi anda. Benar bahwa hasil observasi adalah data, namun akan sangat sedikit (insufficient) untuk ‘membaca’ kepribadian anda yang super kompleks itu dalam waktu singkat. Dengan demikian, akan sangat tidak ‘fair’ pula bagi anda jika dinilai hanya berdasarkan hasil observasi saja. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, Psikolog perlu menghimpun data tambahan sebelum menarik kesimpulan, yang biasanya didapatkan melalui wawancara yang lebih mendalam, angket evaluasi diri, dan tes-tes psikologi.

6) Psikiater lebih profesional daripada Psikolog karena dapat meresepkan obat.
Meski sama-sama praktisi kesehatan mental, Psikiater dan Psikolog menggunakan metode yang berbeda dalam menangani klien. Jika Psikolog bertumpu pada aktifitas ‘mendengar-aktif’ dan ‘komunikasi persuasif’ untuk mendorong kesembuhan kliennya, maka sebagaimana Dokter pada umumnya, seorang Psikiater berwenang untuk meresepkan obat-obatan di luar dari pendekatan di atas. Sayangnya, tidak semua problem psikologis dapat dihilangkan dengan penggunaan obat. Beberapa klien melaporkan kurang merasa terbantu meskipun telah mendapatkan resep obat dari dokter ahli jiwa/Psikiater. Jika pun ada, maka efeknya sementara saja bahkan bisa menimbulkan adiksi dalam jangka panjang. Dalam prakteknya, Psikolog dan Psikiater bekerja bahu membahu untuk membantu memulihkan kesehatan mental seseorang. Kembali lagi kepada tingkat keparahan yang ditetapkan dari proses diagnosa karena cukup banyak kasus yang berhasil ditangani ‘hanya’ melalui konseling dan psikoterapi saja. Beberapa kasus memang harus didahului dengan penanganan psikiatri misalnya mereka yang mengalami hendaya sangat berat seperti berhalusinasi, sulit tidur, energi berlebih/mania, tidak mampu bergerak/stupor, tidak mampu menahan impuls seperti kasus hiperaktivitas, dan adanya indikasi menyerang atau membahayakan lingkungan. Setelah hendaya di atas berhasil dikendalikan dengan terapi obat, maka ‘pasien’ akan dirujuk ke Psikolog untuk menjalani tahap rehabilitasi dimana pada tahap ini ‘klien’ akan dipulihkan harga diri dan kepercayaan dirinya kembali supaya dapat menjalani kehidupan normal seperti sedia kala. Walau sangat disayangkan karena untuk gangguan jiwa tertentu, seorang penderita dapat terus menjalani terapi obat sepanjang sisa hidupnya meskipun sudah memasuki tahap rehabilitasi.

Demikian beberapa stigma yang seringkali menghambat langkah seseorang untuk mendapatkan bantuan profesional ketika merasa mengalami ketidakseimbangan mental. Ingatlah bahwa kesehatan mental tidak kalah penting dengan kesehatan fisik. Segera cari tahu profesional kesehatan mental di sekitar anda untuk mendapatkan pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan ketika anda atau kerabat anda membutuhkannya.


Semoga bermanfaat.

Oleh: Desi Astanty - Psikolog
*Penulis adalah asesor dan konselor di Inner-Q Jambi



Sunday, February 8, 2009

Anda dan Karir Anda: Bekerja dengan cinta

BEKERJA DENGAN CINTA

Di era dimana pekerjaan tidak mudah diperoleh, ternyata tidak sedikit lho orang yang masih sulit ‘enjoy’ dalam menjalani pekerjaan yang sudah didapatkannya. Apakah itu karena kurangnya rasa bersyukur? Tentu saja tidak sesederhana itu. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang sulit mencintai pekerjaannya alias terpaksa menjalani apa tugasnya walaupun sebetulnya ingin sekali bisa lebih enjoy dengan yang dijalaninya saat ini. Tapi apa daya. Simak yang berikut ini!

1. ‘Terjebak’ dengan pekerjaan yang dipilih

Mereka yang melaporkan sulit sekali ‘enjoy’ dengan pekerjaannya saat ini pada umumnya berpikir bahwa mereka telah menerima pekerjaan pada situasi dan kondisi yang salah. Misalnya jenis pekerjaannya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, level keahlian atau standar gaji yang diinginkan. Ini masalah klise yang paling sering dilaporkan. Yah! Kondisi pasar kerja saat ini seringkali memaksa munculnya fenomena ‘underpaid’ dan ‘over-qualified’. Seseorang merasa ‘dipaksa’ oleh kondisi untuk menerima pekerjaan yang sama sekali bukan pekerjaan impiannya. Akhirnya, dengan rasa terpaksa pula harus menjalani tuntutan tugas dari pekerjaan yang dipilih. Tips bagi anda yang berada pada situasi ini:
  • Diperlukan kemauan untuk beradaptasi bila anda berada pada situasi ini. Ingatlah selalu tujuan paling utama yang mendasari keputusan anda menerima pekerjaan itu, setiap kali perasaan ‘tidak enjoy’ itu muncul. Bila anda terpaksa menerima satu pekerjaan karena tuntutan ekonomi akibat peran anda sebagai tulang punggung keluarga, sementara pekerjaan yang tersedia saat itu tidak banyak, maka fokuslah pada tujuan itu!
  • Berpikirlah bahwa anda tidak akan selamanya berada di situ, karena suatu saat kesempatan mendapatkan promosi atau terbukanya peluang lain pasti akan datang. Tapi hati-hati..berpikir fokus saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah terus menjaga performa pekerjaan anda agar tetap memenuhi standar. Jangan sampai karena anda merasa ‘buntu’ dengan dengan pekerjaan anda, anda lalu melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas anda. Anda tidak pernah tahu bila ternyata peluang itu justru muncul dari atasan atau klien-klien yang bekerja dengan anda saat ini!
  • Jangan salahkan situasi dan kondisi yang ada, karena sebetulnya semua ini bermula dari keputusan anda menerima pekerjaan itu. Anda tentu sudah diberi informasi oleh calon employer anda mengenai paket pekerjaan secara utuh pada saat interview dilakukan. Bila anda merasa belum pernah menerima informasi itu sebelumnya, evaluasilah kembali pilihan-pilihan anda, lalu putuskan: Quit or Go On! Jangan salahkan employer anda apalagi diri anda sendiri karena merasa ‘terjebak’ dan menjadi korban keadaan.

2. Perubahan dan tekanan lingkungan yang di luar prediksi

Restrukturisasi (misalnya perampingan atau ekspansi), akuisisi atau merger seringkali membawa perubahan pola kerja dan pola komunikasi di suatu organisasi/perusahaan. Misalnya perubahan jam kerja lebih panjang dari biasa atau ke sistem shift, sistem reward, atasan yang diganti sampai dengan lokasi kerja yang berpindah. Hal ini membutuhkan kemampuan menyesuaikan diri yang tinggi. Bahkan mereka yang sudah terbukti sangat ‘well dedicated’ dengan pekerjaannya dapat saja tiba-tiba merasa sulit memenuhi tuntutan pekerjaannya dengan wajar. Tips untuk anda yang berada pada situasi ini:
  • Pelajari situasi dengan baik, jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan terhadap satu kondisi yang sekilas nampaknya kurang menguntungkan bagi anda. Misalnya isu relokasi divisi kerja anda ke remote area yang berarti anda harus hidup terpisah dari keluarga yang saat ini tinggal di kota. Hawa ketidakjelasan, informasi yang simpang siur hampir pasti beredar di sekitar anda. Sebaiknya fokuslah pada tanggung jawab kerja anda. Selama hak anda masih diperhatikan dengan baik oleh perusahaan, sebetulnya belum ada yang perlu dikhawatirkan;
  • Cobalah untuk menggunakan network anda di luar kantor untuk mendapatkan informasi lowongan. Berjaga-jaga bila situasi kurang menguntungkan;
  • Siapkan energi untuk belajar lagi. Belajar apa saja yang dibutuhkan oleh tuntutan tugas anda yang baru. Jangan takut untuk memulai lagi dari awal, misalnya mengenal atasan dan rekan-rekan baru, dan mempelajari pekerjaan yang sama sekali baru. Berpikirlah bahwa anda pasti bisa melewati semua ketidakjelasan ini dan siap belajar sendiri karena tidak disediakan pembimbing untuk anda. Hal ini mengingat semua orang di sekitar anda pun sedang sibuk dengan diri dan pekerjaan mereka sendiri.

3. Janji Palsu yang terwujud
Memang kadang-kadang ada perusahaan yang kurang professional dalam memperlakukan tenaga kerjanya. Selama proses wawancara segala sesuatu terlihat menarik..yah ini karena perusahaan pun sedang berusaha membuat anda terkesan. Setelah anda putuskan menerima tawaran tersebut, ternyata realita di lapangan berbeda. Tugas yang anda kerjakan ternyata jauh berbeda dengan yang digambarkan kepada anda di awal wawancara, gaji memang anda terima nett yang sama, namun ternyata dibagi menjadi beberapa komponen yang tidak pernah dikomunikasikan sebelumnya, sarana kerja, jenjang karir dan peluang pelatihan sangat terbatas dan lain-lain. Untuk itulah, maka sangat penting bagi anda untuk membuat kesepakatan kerja secara tertulis dengan perusahaan tempat anda bekerja di awal masa kerja anda. Semua aspek yang telah disepakati secara tertulis akan memiliki kekuatan hukum sehingga hak-hak anda tetap terlindungi dengan baik. Bila kesepakatan tertulis itu tidak ada, maka anda pun tidak punya acuan apa-apa bila perusahaan tiba-tiba mengubah kesepakatan secara sepihak. Tips bagi anda yang berada pada situasi ini:
  • Tahan kekesalan anda. Sebagian sumber masalah juga bermula dari ‘kelalaian’ anda untuk membuat kesepakatan kerja dengan perusahaan. Bicarakan dengan atasan atau tim HRD dengan kepala dingin untuk mencari solusi yang win-win buat anda.
  • Pilihan anda hanya dua…bila setelah mencoba bernegosiasi ternyata tidak ada action yang nyata dari pihak perusahaan: Quit or Go on! Jika anda memutuskan untuk menerima, jangan sekali-kali anda bekerja seenaknya untuk menunjukkan kekesalan anda karena itu artinya anda tidak professional. Hati-hati karena tidak sedikit karyawan yang sengaja ‘minta di-PHK’ karena situasi ini. PHK di Indonesia (kecuali karena kasus rasionalisasi) masih dilihat sebagai pencoreng konduite anda sebagai pekerja, jadi sebaiknya selesaikan masalah anda dengan cara yang dewasa.

Workalholic apakah artinya Cinta Pekerjaan?

Ciri-ciri workalholic sebetulnya mudah sekali dikenali. Bila rata-rata konsumsi waktu yang anda gunakan untuk bekerja melebih jam kerja normal anda, maka bolehlah anda disebut The Real Workalholic. Anda belum bisa disebut Workalholic bila sindrom Gila Kerja ini hanya menyerang anda pada satu periode tertentu, misalnya pada proyek-proyek khusus, dimana anda memiliki tanggung jawab besar. Nah tipe workalholic yang disebutkan terakhir yang bisa disebut cinta pekerjaan, bukan yang pertama.


Workalholic adalah satu bentuk perilaku kerja yang cenderung destruktif daripada produktif. Hal ini karena seorang workalholic cenderung mengabaikan keseimbangan hidup dimana ia lebih fokus pada satu peran saja dalam hidupnya, yaitu sebagai pekerja. Setiap orang tentunya memiliki peran-peran sosial lain selain sebagai pekerja. Bila anda sudah melihat ada sebagian dari peran anda yang tidak terakomodasi dengan baik karena pekerjaan anda, maka saat itulah perilaku kerja sudah mengarah pada sindrom gila kerja yang destruktif. Cobalah untuk menerapkan pepatah ‘Don’t Work Hard, but Work Smart!’ Rencanakan pekerjaan anda dengan baik. Jaga keseimbangan hidup anda karena adanya keseimbangan tersebut turut menentukan konsistensi kerja anda sehari-hari!

Lalu seperti apa ciri-ciri orang yang mencintai pekerjaannya?

Bila anda sudah cukup beruntung tidak berada pada situasi yang digambarkan di atas, masih ada satu syarat yang perlu anda kembangkan agar anda lebih mencintai pekerjaan anda yaitu SELALU MEMBERI NILAI TAMBAH terhadap tugas dan tanggung jawab anda. Hal ini hanya mungkin terjadi bila anda bertindak sebagai owner dari pekerjaan dan tugas-tugas anda alih-alih sebagai eksekutor. Sebagai eksekutor anda bersikap pasif terhadap apa yang diharapkan dari pekerjaan anda, sementara situasi dan tuntutan lingkungan berubah. Klien anda tentu menuntut sesuatu yang lebih dari waktu ke waktu walaupun mereka tidak pernah menyebutkan terang-terangan apa yang mereka butuhkan kepada anda.

Dengan bertindak sebagai Owner, anda memposisikan diri untuk ‘keep alert’, mengevaluasi dan mengembangkan diri anda terus menerus. Lepaskan diri anda dari kebiasaan menunggu disposisi yang diturunkan dari atasan, namun sebaliknya proaktiflah dalam melihat peluang untuk meningkatkan servis anda. Pada era globalisasi seperti saat ini, hanya sikap kerja seperti ini yang mampu membuat anda diperhitungkan sebagai SDM yang professional dan kompetitif.

Tidak sulit bukan! Cobalah kreatif dan mulailah satu hal baru setiap hari!
(Presented by DA for Heart to Heart Metro FM 101.9 FM episode 04 Feb’09)